Minggu, 19 September 2010

Pulau Sabang - Aceh

Ujung langit yang bersentuhan dengan laut itu hanya menyisakan semburat jingga, tanda hari berganti malam di Pantai Kasih. Kumandang azan lantang terdengar dari ujung negeri yang sunyi dan damai ini.
Mampir dulu saja ke rumah saya, sudah malam. Menginap di mana?” tanya perempuan yang mengenalkan diri bernama Rusmi (49). Kami memilih meneruskan perjalanan karena penginapan hanya berjarak 300 meter dari Pantai Kasih, Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam.
Sikap Rusmi itu adalah cermin keramahan warga Sabang pada umumnya. Mereka hafal betul siapa warga pendatang, siapa warga Sabang asli. ”Penduduk Sabang hanya 27.000 orang. Kalau ada orang asing, kami tahu betul,” kata Habsa (43), warga Desa Ie Meulee, Kecamatan Sukajaya, Kota Sabang.
Keonaran atau kriminalitas di Desa Ie Meulee, ujung timur Sabang, akan sampai Desa Iboih, Kecamatan Sukakarya, ujung satunya barat, hanya dalam hitungan menit. Makanya warga Sabang biasa membiarkan sepeda motor atau mobil parkir di jalan dengan kunci menempel.
Data Badan Pusat Statistik Kota Sabang tahun 2008 mencatat, hanya terjadi lima pencurian tahun itu.
Keramahan dan kenyamanan Kota Sabang itulah yang membuat Luca Aldrovandi jatuh hati. Laki-laki asal Italia itu menikah dengan Eva, gadis Kota Sabang, dan menetap di sana. ”Udaranya bersih, pemandangannya indah. Sangat cocok untuk membesarkan dia,” kata Luca sambil membelai Salsabila Aldrovandi (8 bulan), anak semata wayangnya. Itu pula yang memikat Marwan Nasution (69) untuk menghabiskan masa tuanya di Sabang, juga Teuku Syahrul (63), pemilik sebuah losmen.
Tenang
Sabang kita kenal sejak taman kanak-kanak melalui lagu ”Dari Sabang sampai Merauke” ciptaan R Suharjo. Lewat lagu itu, kita bisa membayangkan batas dan ujung negeri kita. Tugu Kilometer 0 (baca: nol) penanda awal pengukuran jarak dan luas Nusantara dari Sabang sampai Merauke. Setiap pengunjung berhak mendapatkan sertifikat bahwa dia telah berkunjung ke Tugu Kilometer 0 dengan mengganti biaya administrasi Rp 20.000 per sertifikat.
Terdiri dari Kecamatan Sukajaya dan Sukakarya, Sabang dikelilingi Selat Malaka di sebelah utara dan timur serta Samudra Indonesia di sebelah selatan dan barat. Luas daratannya tak lebih dari 153 kilometer persegi dengan topografi berbukit-bukit. Beberapa pulau kecil mengelilinginya: Klah, Rubiah, Seulako, dan Rondo.
Mencapai Sabang bisa melalui Banda Aceh dengan mengendarai feri atau kapal cepat dengan waktu tempuh satu sampai dua jam. Dulu bisa dicapai langsung dari Medan, dengan pesawat terbang. Sekarang tak ada lagi penerbangan langsung.
Sekejap menjejakkan kaki di Pelabuhan Balohan, Sabang, belasan sopir angkutan umum hingga pramuwisata berebut menawarkan jasa. Untuk keliling Kota Sabang, mobil sewaan ditawarkan dengan tarif Rp 300.000 sampai Rp 500.000 per hari. Di kota, tidak ada angkutan umum. Hanya becak motor bertarif Rp 5.000 atau Rp 10.000 antartujuan. Apabila menyewa seharian, tarifnya Rp 100.000 hingga Rp 150.000.
Pertokoan dan tempat usaha buka sejak subuh hingga sekitar pukul 13.00. Pukul 13.00-18.00 semuanya tutup karena tradisi tidur siang. Toko, warung, dan tempat usaha buka lagi pukul 18.00-23.00. Lepas pukul 23.00, Sabang sunyi lagi.
Tradisi nasionalisme
Sejarah Sabang pernah ditulis Teuku Sulaiman bin Teuku Djohan Balohan, generasi keempat hulubalang Sabang, dalam Teuku Po Miruk Abdul Wahid (Panglima Pulau Weh-Balohan). Diuraikan, pada masa Sultan Alaiddin Mansursyah, Sabang dikenal sebagai salah satu penghasil lada terbesar di Indonesia.
Para seunebok (pemimpin) perkebunan lada mengumpulkan lada untuk diekspor dan hasilnya untuk membangun pasukan bersenjata dan membuat benteng pertahanan.
Sulaiman menguraikan, pada 1861 Belanda menyerang Pulau Weh. Meski kehilangan banyak pejuang, warga Weh bisa menghalau pasukan Belanda hingga ke Pulau Beras. Perlawanan terhadap pendudukan Belanda di daratan sama sengitnya.
Teuku Umar beserta Cut Nyak Dien memimpin perlawanan rakyat Aceh terhadap pendudukan Belanda. Secara sepihak, Belanda menyatakan menaklukkan Aceh meski di lapangan tak pernah terjadi.
Kemudian pada zaman kemerdekaan, sumbangan berupa puluhan kilogram emas dari rakyat Aceh untuk membeli pesawat Dakota DC-3 (Dakota RI-001 Seulawah) membuktikan nasionalisme Aceh terhadap Indonesia. Hal yang sama disumbangkan Radio Rimba Raya di Timang Gajah, Bener Meriah.
Daya tarik Sabang terletak pada keindahan alamnya. Hampir semua wisatawan, terutama backpacker, menyerbu pantai di wilayah barat pulau ini. Kawasan pantai barat Pulau Weh—22 kilometer dari pusat kota—yaitu Gapang dan Iboih, adalah lokasi diving, dengan taman laut dan terumbu karang indah.
Losmen dan hotel tersedia dengan tarif Rp 75.000-Rp 250.000 per malam.
Turis-turis lokal biasanya datang pada akhir pekan. Minggu sore atau Senin pagi mereka kembali ke Banda Aceh untuk bekerja. Namun, turis asing umumnya tinggal lebih lama dan mereka seperti tak kenal waktu....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar