Minggu, 19 September 2010

Pegunungan Dieng - Jawa Tengah


Betapa kita sebagai bangsa patut bersyukur atas kekayaan alam yang kita miliki, mulai dari puluhan kilometer garis pantai yang indah, hingga deretan dataran tinggi dan pegunungan yang hijau memesona. Semuanya merupakan kemajemukan. Dataran tinggi Dieng di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, termasuk salah satu anugerah itu.
Secara geografis, Dieng merupakan dataran tinggi yang terletak di perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, dengan jarak sekitar 30 kilometer dari Kota Wonosobo.
Letaknya yang berada pada ketinggian di atas 2.000 meter dari permukaan laut, membuat suhu udara di Dieng cukup dingin, yaitu berkisar 15 hingga 20 derajat Celcius di siang hari dan 10 derajat Celcius pada malam hari. Bahkan, suhu bisa mencapai di bawah 5 derajat Celcius pada pagi hari di musim kemarau.
Hawa petualangan telah terasa sedari kita menempuh perjalanan ke Dieng, baik dari arah Banjarnegara atau Wonosobo. Berbagai moda transportasi, mulai dari sepeda motor, mobil pribadi, hingga kendaraan umum bisa menjadi alternatif dengan tantangan masing-masing.
Bila mengendarai sepeda motor, kita bisa lebih leluasa menikmati hawa pegunungan yang segar sekaligus memandang panorama sekeliling yang mengagumkan. Tapi bersiaplah memakai jaket yang tebal karena udara dingin bisa menyapu kapan saja.
Atau, bila jiwa petualang kita sedang menggebu-gebu, pilih saja bus umum trayek Wonosobo-Dieng yang tersedia. Dijamin, hati akan berdegup kencang saat sopir bus mengendalikan laju kendaraannya membelah tebing tinggi clan jurang menganga.
Kawah Sinila
Dataran tinggi Dieng tak melulu menyuguhkan pemandangan pegunungan atau kesejukan udara yang bersih clan segar. Banyak hal bisa disaksikan ketika kita menjejakkan kaki di "negeri" yang sering disebut tempat bersemayam para dewa dan dewi ini.
Menurut sejarah di situs Pemkab Wonosobo, nama Dieng berasal clad bahasa Sansekerta. "Di" yang berarti tempat yang tinggi atau gunung, dan "Hyang" yang berarti kayangan (surga). Tidak heran memang karena banyak hal menarik di Dieng yang jarang ditemukan di wilayah lain.
Pertama, dari sisi edukasi, dataran tinggi Dieng memiliki beberapa situs yang bisa menjadi pilihan bagi anak-anak dan keluarga. Contohnya, jajaran candi-candi Hindu berukuran kecil, tetapi berarsitektur unik, bisa ditelusuri untuk menambah pengetahuan.
Candi-candi tersebut diperkirakan berdiri sekitar abad ke tujuh dan delapan, dan merupakan peninggalan Dinasti Sanjaya. Salah satu kelompok lokasi candi yang disebut Candi Pendawa, memiliki lima buah deretan candi, yaitu Candi Semar, Arjuna, Srikandi, Sembadra, dan Puntadewa.
Sedangkan candi-candi yang lain, seperti Candi Gatotkaca, Dwarawati, Bima, dan lainnya, letaknya tersebar dan terpisah-pisah. Saat menyusuri candi tersebut, kita bagai digiring ke perjalanan sejarah yang panjang dari bangsa Indonesia yang berbudaya. Karena itu, sebagai warisan budaya sekaligus situs penghormatan masa lampau, candi-candi yang tersisa harus dirawat dengan maksimal.
Selain candi, dataran tinggi Dieng memiliki Dieng Plateau Theater, yaitu bioskop yang memberi informasi mengenai peristiwa dan kejadian alam di Dieng, seperti peristiwa Kawah Sinila yang menghembuskan udara beracun pada tahun 1979, yang menelan korban jiwa hampir 150 warga. Wahana ini memiliki kapasitas 100 kursi yang sangat nyaman bagi kita dan keluarga. Nilai edukasi pun bisa didapat karena film yang diputar membahas budaya dan kehidupan masyarakat Dieng.
Kedua, selain wahana edukasi yang lengkap, Dieng juga menyuguhkan berbagai situs yang menyajikan fenomena alam mengagumkan. Semisal, sebagai kawasan pegunungan aktif, beberapa kawah di Dieng masih mengeluarkan lumpur hitam yang mendidih, asap putih tebal, dan gas yang mengandung belerang. Kita pun berkesempatan menyaksikan Telaga Warna yang bila kita beruntung, bisa melihat aneka warna yang berbeda karena kandungan mineral pada telaga tersebut.
Akhirnya, inilah saatnya bagi kita untuk mensyukuri segala anugerah Tuhan dari ketinggian Dieng sebagai "istana para dewa dan dewi kayangan".

Pulau Sabang - Aceh

Ujung langit yang bersentuhan dengan laut itu hanya menyisakan semburat jingga, tanda hari berganti malam di Pantai Kasih. Kumandang azan lantang terdengar dari ujung negeri yang sunyi dan damai ini.
Mampir dulu saja ke rumah saya, sudah malam. Menginap di mana?” tanya perempuan yang mengenalkan diri bernama Rusmi (49). Kami memilih meneruskan perjalanan karena penginapan hanya berjarak 300 meter dari Pantai Kasih, Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam.
Sikap Rusmi itu adalah cermin keramahan warga Sabang pada umumnya. Mereka hafal betul siapa warga pendatang, siapa warga Sabang asli. ”Penduduk Sabang hanya 27.000 orang. Kalau ada orang asing, kami tahu betul,” kata Habsa (43), warga Desa Ie Meulee, Kecamatan Sukajaya, Kota Sabang.
Keonaran atau kriminalitas di Desa Ie Meulee, ujung timur Sabang, akan sampai Desa Iboih, Kecamatan Sukakarya, ujung satunya barat, hanya dalam hitungan menit. Makanya warga Sabang biasa membiarkan sepeda motor atau mobil parkir di jalan dengan kunci menempel.
Data Badan Pusat Statistik Kota Sabang tahun 2008 mencatat, hanya terjadi lima pencurian tahun itu.
Keramahan dan kenyamanan Kota Sabang itulah yang membuat Luca Aldrovandi jatuh hati. Laki-laki asal Italia itu menikah dengan Eva, gadis Kota Sabang, dan menetap di sana. ”Udaranya bersih, pemandangannya indah. Sangat cocok untuk membesarkan dia,” kata Luca sambil membelai Salsabila Aldrovandi (8 bulan), anak semata wayangnya. Itu pula yang memikat Marwan Nasution (69) untuk menghabiskan masa tuanya di Sabang, juga Teuku Syahrul (63), pemilik sebuah losmen.
Tenang
Sabang kita kenal sejak taman kanak-kanak melalui lagu ”Dari Sabang sampai Merauke” ciptaan R Suharjo. Lewat lagu itu, kita bisa membayangkan batas dan ujung negeri kita. Tugu Kilometer 0 (baca: nol) penanda awal pengukuran jarak dan luas Nusantara dari Sabang sampai Merauke. Setiap pengunjung berhak mendapatkan sertifikat bahwa dia telah berkunjung ke Tugu Kilometer 0 dengan mengganti biaya administrasi Rp 20.000 per sertifikat.
Terdiri dari Kecamatan Sukajaya dan Sukakarya, Sabang dikelilingi Selat Malaka di sebelah utara dan timur serta Samudra Indonesia di sebelah selatan dan barat. Luas daratannya tak lebih dari 153 kilometer persegi dengan topografi berbukit-bukit. Beberapa pulau kecil mengelilinginya: Klah, Rubiah, Seulako, dan Rondo.
Mencapai Sabang bisa melalui Banda Aceh dengan mengendarai feri atau kapal cepat dengan waktu tempuh satu sampai dua jam. Dulu bisa dicapai langsung dari Medan, dengan pesawat terbang. Sekarang tak ada lagi penerbangan langsung.
Sekejap menjejakkan kaki di Pelabuhan Balohan, Sabang, belasan sopir angkutan umum hingga pramuwisata berebut menawarkan jasa. Untuk keliling Kota Sabang, mobil sewaan ditawarkan dengan tarif Rp 300.000 sampai Rp 500.000 per hari. Di kota, tidak ada angkutan umum. Hanya becak motor bertarif Rp 5.000 atau Rp 10.000 antartujuan. Apabila menyewa seharian, tarifnya Rp 100.000 hingga Rp 150.000.
Pertokoan dan tempat usaha buka sejak subuh hingga sekitar pukul 13.00. Pukul 13.00-18.00 semuanya tutup karena tradisi tidur siang. Toko, warung, dan tempat usaha buka lagi pukul 18.00-23.00. Lepas pukul 23.00, Sabang sunyi lagi.
Tradisi nasionalisme
Sejarah Sabang pernah ditulis Teuku Sulaiman bin Teuku Djohan Balohan, generasi keempat hulubalang Sabang, dalam Teuku Po Miruk Abdul Wahid (Panglima Pulau Weh-Balohan). Diuraikan, pada masa Sultan Alaiddin Mansursyah, Sabang dikenal sebagai salah satu penghasil lada terbesar di Indonesia.
Para seunebok (pemimpin) perkebunan lada mengumpulkan lada untuk diekspor dan hasilnya untuk membangun pasukan bersenjata dan membuat benteng pertahanan.
Sulaiman menguraikan, pada 1861 Belanda menyerang Pulau Weh. Meski kehilangan banyak pejuang, warga Weh bisa menghalau pasukan Belanda hingga ke Pulau Beras. Perlawanan terhadap pendudukan Belanda di daratan sama sengitnya.
Teuku Umar beserta Cut Nyak Dien memimpin perlawanan rakyat Aceh terhadap pendudukan Belanda. Secara sepihak, Belanda menyatakan menaklukkan Aceh meski di lapangan tak pernah terjadi.
Kemudian pada zaman kemerdekaan, sumbangan berupa puluhan kilogram emas dari rakyat Aceh untuk membeli pesawat Dakota DC-3 (Dakota RI-001 Seulawah) membuktikan nasionalisme Aceh terhadap Indonesia. Hal yang sama disumbangkan Radio Rimba Raya di Timang Gajah, Bener Meriah.
Daya tarik Sabang terletak pada keindahan alamnya. Hampir semua wisatawan, terutama backpacker, menyerbu pantai di wilayah barat pulau ini. Kawasan pantai barat Pulau Weh—22 kilometer dari pusat kota—yaitu Gapang dan Iboih, adalah lokasi diving, dengan taman laut dan terumbu karang indah.
Losmen dan hotel tersedia dengan tarif Rp 75.000-Rp 250.000 per malam.
Turis-turis lokal biasanya datang pada akhir pekan. Minggu sore atau Senin pagi mereka kembali ke Banda Aceh untuk bekerja. Namun, turis asing umumnya tinggal lebih lama dan mereka seperti tak kenal waktu....

Kawah Kelimutu - Flores

Hampir seabad silam, tepatnya 95 tahun lalu, peneliti asal Belanda bernama BCChMM van Suchtelen sudah sangat takjub dengan fenomena perubahan-perubahan warna air di tiga kawah Kelimutu di Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, itu.
Kawah Tiwu Ata Polo sering menunjukkan warna merah darah, Kawah Tiwu Nua Muri Koo Fai berwarna hijau zamrud, dan Kawah Tiwu Ata Mbupu berwarna putih. Karena itu, Kelimutu juga sering disebut Danau Triwarna. Namun, sesekali warna ketiganya bisa pula menjadi seragam.
Saat berkunjung pada pertengahan Juli 2010, Tiwu Nua Muri Koo Fai berwarna hijau muda kebiruan, Tiwu Ata Polo berwarna hijau, dan Tiwu Ata Mbupu berwarna hijau lumut kehitaman.
Kalangan ilmuwan dan peneliti memberikan informasi, kandungan kimia berupa garam, besi, sulfat, mineral lain, serta tekanan gas aktivitas vulkanik, maupun sinar matahari menjadi faktor penyebab perubahan warna air danau pada Gunung Kelimutu (1.690 meter) itu.
”Aktivitas kegempaan juga dapat mengubah warna kawah danau. Fenomena geologis ini memang sungguh unik dan hanya terjadi di Danau Kelimutu di Indonesia. Di negara lain, antara lain Italia dan Selandia Baru, kalaupun ada, perubahan warna airnya tidak signifikan dan tidak beraneka warna,” kata peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung, Eko Soebowo, Rabu (18/8/2010).
Pesona Kelimutu bukan itu saja. Di kawasan seluas 5.356,5 hektar itu juga mudah ditemukan aneka jenis flora dan satwa liar langka. Burung garugiwa (Pachycephala nudigula) merupakan salah satunya. Burung berkepala warna hitam, sedangkan badan, sayap, hingga ekor berwarna hijau kekuningan ini merupakan spesies endemik di sana yang tidak terdapat di tempat lain.
Saat menuju puncak kawah Danau Kelimutu, sekitar pukul 08.00 Wita, terdengar aneka suara unik burung garugiwa jantan. Semarak kicauan burung yang keras dan nyaring, bersahutan, menghiasi pagi di Danau Kelimutu, bagaikan sambutan selamat datang yang ramah, bahkan turut menghangatkan suasana.
Burung garugiwa biasa berkicau mulai pukul 06.00 hingga 10.00 saja. Kicauan burung ini berbeda-beda sesuai ketinggian. Pada kawasan 1.400 meter di atas permukaan laut, ada sekitar 12 kicauan. Menurut penduduk setempat, pada ketinggian lebih dari 1.400 meter di atas permukaan laut, terdapat burung- burung yang memiliki sekitar 17 kicauan.
”Karena itu, masyarakat di sini ada yang menyebutnya burung arwah. Selain sulit ditangkap, burung itu juga hanya muncul saat tertentu,” kata Muhammad Sendi, pedagang kopi di sekitar tugu pemantauan Danau Kelimutu.
Radar alam
Bagi masyarakat setempat, perubahan warna air kawah Danau Kelimutu juga diibaratkan sebagai radar, pertanda awal akan terjadinya peristiwa negeri ini. Mereka meyakini, gempa bumi yang terjadi di Tasikmalaya, Jawa Barat, dan Sumatera Barat, bahkan merebaknya skandal Bank Century pun, didahului oleh berubahnya warna air kawah.
Masyarakat etnik Lio di daerah itu meyakini kawasan Kelimutu sebagai tempat yang sangat sakral, yakni kampung arwah leluhur mereka. Ini sesuai dengan nama Kelimutu yang terdiri dari kata ”keli” yang berarti ”gunung” dan kata ”mutu” yang bermakna ”berkumpul”. Itu sebabnya, mereka yang berkunjung ke daerah itu tak berani omong sembarangan atau takabur.
Pada pintu gerbang (Pere Konde) tertulis, danau ini dijaga Konde Ratu, sang penguasa. Danau Tiwu Ata Polo adalah ”markas” arwah orang jahat, Danau Tiwu Nua Muri Koo Fai menjadi ”istana” arwah kawula muda, sedangkan Danau Tiwu Ata Mbupu merupakan ”singgasana” arwah kaum sepuh yang bijaksana.
Penyanyi dan pemusik Ende, Eman Bata Dede, warga Kelurahan Onekore, Kecamatan Ende Tengah, pun sangat meyakini kepercayaan itu.
Keajaiban alam Danau Kelimutu, begitu pula mitos yang diejawantahkan secara nyata lewat berbagai ritual magis, memberikan pesona luar biasa. Belum lagi di Kelimutu juga terdapat arboretum, hutan mini seluas 4,5 hektar, tempat tumbuhnya berbagai jenis pohon yang mewakili potensi biodiversitas Taman Nasional Kelimutu. Di sana terdapat aneka flora yang jumlahnya 78 jenis pohon, yang berkelompok dalam 36 suku.
Di antara flora itu ada yang endemik Kelimutu, yakni uta onga (Begonia kelimutuensis) dan turuwara (Rhododendron renschianum), di samping tanaman arngoni (Vaccinium varingiaefolium) yang berbunga kecil berwarna putih dan buahnya berwarna hitam jika matang—yang oleh masyarakat setempat biasa disebut makanan para dewa. Juga kawanan kera ekor panjang (Macaca fascicularis) yang memerlukan bantuan pawang untuk menyaksikannya.
Yang tak kalah menarik, medan yang dilalui di sepanjang jalan dari kota Ende sampai Danau Kelimutu: berkelok-kelok, naik turun bukit tinggi, dengan lebar jalan hanya 4 meter. Di sisi kanan-kiri jalan tersebut adalah tebing. Siapa pun yang mengunjungi Danau Kelimutu akan memperoleh sensasi tersendiri.
Sayangnya, Danau Kelimutu belum dipromosikan secara optimal. Padahal, banyak orang ingin menikmati pesona alam Indonesia yang fenomenal tersebut.

Pantai Mutun - Lampung

Berwisata di pulau tropis, lengkap dengan panorama pasir putih dan jernihnya laut, biasanya identik dengan biaya mahal atau kemewahan. Entah itu untuk retribusi masuk ke area pulau, sewa perahu atau biaya transportasi.
Sungguh menakjubkan, serasa seperti berada di belahan lain. Bukan di Lampung. Pantainya bersih, lautnya jernih dan ombak sangat tenang.

Namun, anggapan ini sirna ketika kita berkunjung ke Pantai Mutun atau gugusan pulau-pulau kecil lainnya di wilayah Teluk Lampung di Kabupaten Pesawaran. Dengan kocek kurang dari Rp 100.000 per orang, pengunjung bisa merasakan sensasi berwisata ke pulau, lengkap dengan berbagai wahana menyenangkan.

Pantai Mutun adalah salah satu tempat wisata favorit di kawasan Teluk Lampung. Kawasan pantai ini memiliki pulau terkenal yang disebut Pulau Tangkil. Pulau seluas 11,5 hektar ini memiliki segala syarat untuk menjadi pusat wisata bahari terbaik di wilayahnya. Hamparan pasir putihnya cukup landai dan bersih.

Bahkan, begitu bersihnya, pasir di pantai ini nampak seperti hamparan pasir terigu. Air lautnya pun juga sangat jernih, berwana kebiru-biruan. Sehingga, ini memungkinkan dasar lautnya masih dapat terlihat dengan mata telanjang hingga kedalaman 1,5 meter.

Di pinggir-pinggir pantai berjajar pohon-pohon kelapa dan bakau yang rindang. Pondokan-pondokan kecil menyelingi barisan pepohonan itu. Yang juga menjadi keunggulan lainnya yang tidak ada tandingannya, di pulau ini kita bisa melihat pemandangan indah Pantai Mutun dan barisan perbukitan yang seolah mengelilingi pulau.

Masih di titik ini, dari kejauhan, kita bisa melihat puluhan kapal-kapal tanker dan kapal komersial berjajar di teluk. Sebab, pulau ini tidak jauh dari Pelabuhan Panjang yang dioperasikan PT Pelindo. Jarak keduanya kurang dari 5 km.

"Sungguh menakjubkan, serasa seperti berada di belahan lain. Bukan di Lampung. Pantainya bersih, lautnya jernih dan ombak sangat tenang," ujar Anidini (23 ), salah seorang pengunjung yang baru pertama kali menginjakkan kakinya ke Pulau Tangkil.

Daya tarik inilah yang mengakibatkan ribuan pengunjung saat libur Lebaran seperti kemarin rela antre dan terjebak macet untuk menuju kawasan ini.

Sangat terjangkau

Kelebihan lain dari Pulau Tangkil adalah tempat wisata ini sangat mudah dijangkau. Jaraknya dari pusat kota Bandar Lampung hanya 15 km. Tempat ini juga dapat dijangkau angkot dari pusat kota. Untuk mencapainya, pengunjung harus lebih dulu singgah ke Pantai Mutun. Di pantai ini tersedia wahana waterboom yang menjadi daya tarik lainnya.

Untuk masuk ke Pantai Mutun, pengunjung tidak dikenai retribusi. Hanya dikenai biaya masuk kendaraan. Dari pantai yang juga memiliki hamparan pasir putih ini, pengunjung harus perahu untuk menuju ke Pulau Tangkil. Biayanya sangat terjangkau, yaitu Rp 10.000 per orang pergi-pulang. Untuk pulang, pengunjung bisa dijemput kapan pun.

Jarak dari Pantai Mutun ke Pulau Tangkil sangat dekat, kurang dari 1,5 km. Bahkan, dari Pantai Mutun, pulau yang dimiliki Kiagoos Ismail ini sudah bisa terlihat. Perjalanan dari pantai ke pulau ini kurang dari 10 menit.

Di Pulau Tangkil, pengunjung hanya dikenai biaya masuk Rp 3.000 per orang. Di tepat ini tersedia berbagai wahana menarik macam persewaan jet ski, banana boat, kano, hingga ATV keliling pulau.

Di pulau juga tersedia wc atau kamar mandi, sehingga pengunjung tidak perlu kebingungan untuk berbilas. Warung-warung makanan, hingga cottage kecil juga tersedia. Selain berenang, pengunjung biasa menghabiskan waktu di pulau ini untuk memancing ikan atau snorkeling.

Cukup dengan berenang atau duduk santai sambil minum kelapa muda di pinggir pantai pulau ini rasa-rasanya cukup menghilangkan penat atau stres akibat rutinitas kerja. Jika punya kocek lebih, pengunjung bisa memicu adrenalin dengan menyewa banana boat sebesar Rp 120.000 per perahu per trip.

Ikan dan layang-layang

Di sekitar pulau ini banyak ditemui ikan kerapu, ubur-ubur, kakap dan sebagian kecil ikan-ikan karang. Sayangnya, akibat dampak pengeboman ikan, terumbu karang di sekitarnya sudah banyak yang mati. Namun, di bagian belakang pulau, masih ada sebagian kecil karang yang bertahan.

Dalam periode-periode tertentu, pengunjung di kawasan ini bisa disuguhi pemandangan unik dimana nelayan-nelayan tradisional mencari ikan menggunakan bantuan layang-layang (kite fishing). Layang-layang dari berbagai ukuran membantu umpan agar tetap melayang di permukaan air.

Dengan berbagai keunggulan dari tempat wisata ini, ada satu kekurangannya yang menonjol. Jalan sepanjang 2 km yang menghubungkan Pantai Mutun dan jalan raya di Punduh Pedada kondisinya sangat buruk. Jalan itu penuh lubang dan aspal mengelupas.

Padahal, di ruas ini banyak terdapat tanjakan curam. Sehingga, di musim liburan, sering terjadi kemacetan yang panjang di ruas ini. Alangkah baiknya jika potensi wisata yang mengagumkan ini didukung dengan infrastruktur memadai pula.

Danau Linow - Sulawesi Utara

Sebuah pagi yang tenang. Langit bersih. Rerumputan dan tanah masih basah selepas dibilas hujan semalaman. Danau Linow di Kota Tomohon, Sulawesi Utara, selalu menyuguhkan pesona sejuk dan syahdu di pagi hari. Itulah sebabnya danau ini patut dimasukkan dalam agenda perjalanan.

Bila sinar matahari menyingkap dengan lembut sela-sela dedaunan, jatuh di permukaan - air dan menimbulkan bias manis cahaya - keperakan, makin eksotik saja danau ini. Sekawanan burung belibis juga setia singgah di danau ini setiap pagi. Barangkali, itu menjadi cara mereka merayakan kehidupan.

Dari Kota Manado, hanya membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam untuk mencapai Danau Linow. Setelah masuk Kota Tomohon, kita tinggal mengikuti papan penunjuk jalan menuju danau ini. Bila sudah mendekati kawasan danau, jalan aspal memang makin sempit tapi cukup untuk berpapasan kendaraan roda empat.

Warna air di permukaan danau yang berubah-ubah menjadi daya tarik danau ini. Itu disebabkan karena tingginya kadar belerang. Di beberapa sisi danau, air mendidih yang mengepulkan asap putih masih terlihat dominan sehingga pengelola danau harus memasang tanda daerah berbahaya.

Selain burung belibis, satwa endemik yang menghuni Danau Linow adalah serangga yang oleh penduduk setempat disebut "ikan" sayok atau komo. Sebutan "ikan" disematkan mungkin karena serangga bersayap ini sering mendarat di permukaan air. Uniknya, serangga ini biasa dijadikan santapan oleh penduduk.

Lingkungan danau yang bisa dijangkau wisatawan cukup bersih dan tertata. Namun fasilitas wisata yang tersedia baru sebatas kafe yang dibangun oleh pihak swasta. Dari kafe ini kita bisa mengamati seluruh kawasan danau.

Menurut pengelolanya, wisatawan mancanegara yang datang ke danau ini lebih banyak berasal dari Asia, seperti Jepang, Korea, China, dan Singapura.

"Kita ingin kenalkan bahwa masih banyak potensi wisata yang perawan, terlebih di Indonesia bagian timur. Karena itu yang perlu dibenahi secara lebih serius saat ini adalah infrastruktur, fasilitas, dan akomodasi di sektor pariwisata," kata Gubernur Sulawesi Utara SH Sarundajang, akhir Januari lalu.